Sebuah Catatan : Satu Dekade Reformasi

Potret buram bangsa Indonesia sampai saat ini tetap tidak berubah. Pada level bawah, bisa kita lihat, kemiskinan masih merajalela. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2007 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta (16,58 persen). Jumlah ini turun sebesar 2,13 juta jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2006 yang berjumlah 39,30 juta (17,75 persen).

Meski jumlah ini turun, namun kemiskinan tetap menjadi masalah besar bagi bangsa kita, karena berbagai kebijakan pemerintah belum sedikitpun menyentuh masalah ini. Kebijakan kenaikan BBM tahun ini semakin menegaskan bahwa ternyata pemerintah tidak pernah membuka mata terhadap femonena kemiskinan, gizi buruk, busung lapar dan lain sebagainya. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan rakyat saat ini bersikap apatis dengan dinamika yang muncul. "Mau diapakan bangsa ini terserah elo," itu yang kerap terdengar dari pembicaraan mereka.

Sepuluh tahun silam, bangsa Indonesia mengalami tragedi yang tidak bisa dilupakan begitu saja, karena dari tragedi itulah kemudian menghilami adanya satu bentuk gerakan baru yang diharapkan mampu mengawal bangsa Indonesia menuju cita-citanya.

Reformasi lahir sebagai buah kekecewaan segenap komponen bangsa di seluruh penjuru tanah air terhadap penyelenggaraan negara yang hegemonik, represif, eksklusif dan tidak pernah berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Paling tidak itulah sedikit ulasan singkat untuk mengenang kembali satu momentum besar yang cukup menelan banyak korban, agar tidak mudah dilupakan, sebab peristiwa ini yang menandai perubahan peta politik Indonesia. Dan tentunya dari sini lah kita akan mulai menyibak kembali beberapa agenda penting guna menggiring persoalan ke arah pencapaian solusi konkret.

Ketika kita buka kembali agenda reformasi yang pernah diusung bersama oleh beberapa kelompok yang masih punya semangat tinggi, idealisme, serta visi untuk membangun Indonesia kedepan yang mapan dan mandiri, tentunya dada kita berdesir hari ini. Sebab kita sebagai manusia yang masih punya nurani, senantiasa melihat segala persoalan yang timbul dari prespektif nalar logika yang sehat, jernih serta dewasa.

Bisa kita saksikan bersama bahwa reformasi yang telah bergulir hampir menginjak usia 10 tahun. bila dianalogikan manusia, pada usia itu seharusnya ia sudah menunjukan kepiawaiannya dalam bertindak. Namun ternyata, reformasi belum bisa kita harapkan, terlebih perubahan sebagaimana dicita-citakan bersama mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil makmur dan sejahtera.

Kondisi inilah yang kemudian memunculkan persoalan baru, yaitu ketidakpercayaan rakyat Indonesia kepada seluruh elit bangsa ini. Malahan, sebagian rakyat justru mengangankan kembali ke masa Soeharto dulu. Dalam penilaian rakyat saat ini, justru Soeharto lah sosok yang terbukti bisa membangun negara menjadi damai, hingga muncul “Sindrom Amat Rindu Soeharto” atau yang kita kenal dengan (SARS). Hal ini berangkat dari sebuah realita bahwa masyarakat sudah terlalu jenuh dengan persoalan mereka. Para elit-elit yang diharapkan bisa membela kepentingan mereka ternyata hanya berebut jatah kekuasaan saja dan cenderung mengabaikan kepentingan rakyat banyak.

Dus, bisa kita cermati bahwa selama 5 tahun periode pemerintahan, para pejabat itu hanya sekali melibatkan rakyat, yakni semasa kampanye. Kapan lagi kita bisa melihat para petinggi mau turun kebawah, duduk berdampingan, makan bersama kalau tidak pada masa kampanye. Mereka mau berdiskusi dengan rakyat karena mereka punya misi ingin menyosialisasikan program-program partai agar mereka dapat dukungan. Tapi apa yang terjadi setelah itu? Setelah mendapat jatah kursi di pemerintahan, mereka tidak lagi ingat dengan janji-janji ketika mereka turun ke pedesaan dulu.

Hal ini menunjukan bahwa reformasi sekarang tinggal lembaran-lembaran yang telah usang dan tidak pernah menjadi pijakan dalam menata bangsa ini. Karena kondisi yang terjadi beberapa elit bangsa ini tidak mempunyai keinginan baik untuk tetap konsisten dengan nilai perjuangan mereka.

Kondisi inilah yang menjadi awal matinya sebuah demokrasi yang diharapkan mampu mengubah Indonesia menuju negara yang mampu bersaing dan mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain.

Cita-cita demokrasi sebagai ruh gerakan reformasi ternyata memunculkan persoalan baru yang lebih kompleks dan justru menelan banyak korban yaitu rakyat. Hukum, satu-satunya konstitusi yang diharapkan memberikan warna baru bagi kehidupan karena fungsinya yang seharusnya menjadi pionir atau panglima dalam setiap penanganan semua masalah, ternyata harus kalah dengan permainan suap oleh segelintir elit yang punya banyak duit.

Hukum yang pada hakikatnya bersifat adil dalam artian hitam atau putih, namun pada dataran praktiknya, hukum di Indonesia tidak pernah memberikan rasa keadilan apalagi rasa aman dan tentram bagi masyarakat karena telah tereduksi, dan tidak mempunyai fungsi konkret untuk membela mereka yang lemah.

Tulisan ini hanya sebatas bahan refleksi kita bersama sebagai rakyat yang hari ini kondisinya tidak jauh berbeda dengan 10 tahun yang silam, karena sebentar lagi kita akan memasuki babak baru dengan semangat Pemilu 2009. Harapan kita, Pemilu mendatang bisa menjadi awal dari lahirnya kembali Indonesia yang baru: mengeluarkan rakyat dari belenggu kesengsaraan. Tentunya ini menuntut kecermatan kita agar tidak lagi dengan mudah menentukan sebuah pilihan tanpa mengetahui latar belakang serta track record orang yang kita pilih.

Kamis, 29 Mei 2008

1 Comment:

sii_Jal said...

satu dekade reformasi....


satu dekade bearti 100x1
satu dekade bearti 200:2
satu dekade bearti tealh lama kita jalani....

tapi apa kita tahu arti satu dekade reformasi itu apa??

yang di butuhkan hanya satu dalam satu dekade reformasi....






kesahajaan!